Saturday, October 19, 2013

Sebuah buku catatan

Jam menunjukkan tepat pukul tiga sore. Seperti biasa, aku mulai mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan urusan sekolah. Ditemani oleh kursi beroda ala kantor berwarna merah, meja kayu berwarna cokelat dengan model yang menurutku sudah ketinggalan jaman, serta lampu baca yang cahayanya mengimitasi sinar matahari menghangatkan pandangan. Di depanku tergeletak sebuah buku tulis berwarna kuning dengan gambar logo sekolahku yang terdiri dari gambar buku tulis terbuka, di sebelah kiri dan kanannya terdapat gambar padi dan kapas seperti yang ada pada lambang Pancasila sila kelima, di bawah gambar buku itu terbentang sebuah pita yang bertuliskan nama sekolah. Di bawah logo itu terdapat sebuah kotak yang berisikan data diri dari si pemilik buku.

Nama: Vicha. L
Kelas: IV SD
Tahun Pelajaran: -
Mata Pelajaran: Cat Bahasa Indonesia

Ya, buku yang sudah kupegangi sekitar satu menit itu bukan milikku, buku itu milik teman sebangku, yang selalu memilih duduk di sebelah kiriku. Aku merasa puas bisa mendapatkan buku itu, mungkin rasanya seperti memenangkan sebuah pertandingan final sepak bola dalam kompetisi bergengsi seperti piala dunia. Melihat buku itu, rasanya bukan hanya aku yang tersenyum, tetapi buku itu juga tersenyum padaku, sepertinya buku itu berkata kepadaku, "kamu hebat!"

Seperti pencuri yang datangnya tidak pernah diketahui oleh si empunya rumah, pintu kamarku diketuk oleh seseorang, pengasuhku. Setengah berteriak aku berkata, "masuk!" Kedatangannya bukan untuk membawakanku makanan atau minuman ataupun pakaian yang baru saja selesai diseterika. Kedatangannya adalah untuk mengabarkan berita buruk bagiku. Ya, ini berita buruk bagiku. Si pemilik buku menelepon ke rumah dan menanyakan perihal tentang buku catatan bahasa indonesianya. Rasanya wajahku seketika itu juga menjadi pucat dan spontan aku menjawab, "iya, ada di sini" lima menit lagi dia akan telepon lagi untuk meminta jawaban dari pengasuhku.

Setelah pintu tertutup dan aku kembali seorang diri di kamar, suasana kamarku rasanya berubah. Aku merasa berada di tempat asing yang gelap, tidak terurus dan menakutkan. Suasana hatiku rasanya diliputi awan-awan gelap. Seakan aku mengendalikan alam, langit di luarpun ikut sendu, awan gelap menyelimuti langit dan suara guntur sesekali muncul seperti mengejekku. Dengan wajah terbenam di bantal, aku mulai menangis. Aku merasa sudah menjadi anak paling nakal di seluruh dunia. Dadaku terasa tidak enak, aku takut, aku menyesal, aku mengaku salah. Lagi-lagi alam mengikuti suasana hatiku, hujan dengan tingkat sedang mulai membasuh bumi seirama denganku yang semakin tenggelam dalam perasaan bersalah. Suara benturan air hujan yang menghantam atap rumah seperti berkata kepadaku, "kamu anak nakal!" jutaan kali. Dengan pandangan yang agak basah, aku kembali melihat ke buku catatan yang ada di meja belajar, buku itu tidak lagi seramah tadi, ia dingin. Rasa bersalahku ini membuatku kembali mengingat kejadian beberapa jam sebelumnya, sebelum aku mendapatkan buku catatan itu.

Bel tanda pulang sudah berbunyi, sambil merapikan buku-buku dan alat tulis yang ada di meja aku bertanya kepada teman sebangku, "boleh aku pinjam buku catatanmu?" Diluar harapanku, ternyata dia menolak untuk meminjamkan buku catatannya kepadaku. Alasannya adalah dia ingin pakai buku itu untuk mempersiapkan diri pada ulangan bahasa indonesia di hari rabu depan. Hari ini adalah hari Jumat dan ulangan hari rabu, aku sungguh tidak bisa memerima alasan seperti itu. Hari Rabu masih lama, kenapa aku tidak dipinjamkan saja buku itu hanya untuk hari sabtu dan minggu? Jika bisa, aku ingin sekali merebut buku itu.

Seakan Tuhan mengijinkan, buku itu tergeletak begitu saja di kolong mejanyq. Entah setan mana yang merasuki, aku langsung ambil buku itu tanpa ijin, lalu memasukkannya ke dalam tas. Tadinya aku kira dalam beberapa menit, teman sebelahku akan langsung menyadari tentang ketiadaan buku catatannya. Ternyata aku salah, seperti tidak ada kehilangan apa-apa dia segera menutup resleting tas kotak polosnya yang berwarna merah. Dengan tatapan tidak percaya, aku melihatnya berjalan ke luar menuju pintu kelas dan kemudian menghilang dari pandanganku.

Pengasuhku kembali masuk ke kamar dan menanyakan di mana buku catatan itu. Dengan berpura-pura mengantuk, sambil tiduran menghadap ke arah tembok untuk menyembunyikan wajahku yang penuh dengna air mata, aku memintanya untuk mengambil sendiri buku itu di meja belajar. Dari luar rumah sayup-sayup aku mendengar suara knalpot motor vespa yang diredam oleh suara hujan yang semakin deras. Bel rumah berbunyi, dan aku tahu itu pasti ibu dari teman sebaangku. Ya, pasti ibunya. Karena dia selalu diantar dan dijemput oleh ibunya dengan motor vespa. Ayahnya meninggal setahun lalu, waktu kelas 3 SD.

Air mataku kembali menetes dan kemudian menjadi deras, rasanya aku ingin sekali bertemu dengan tante itu. Aku ingin berkata kepadanya, "maaf tante, aku sudah menjadi anak yang nakal." tapi aku tidak punya keberanian untuk melakukan aksi itu. Sekarang aku hanya menangis dan meratapi kesalahanku. Aku sadar, aku salah karena mengambil buku catatan itu tanpa minta ijin terlebih dahulu.

Keesokan harinya kesedihanku, penyesalanku rasanya sudah tidak berbekas sama sekali di dalam benakku. Aku terhanyut dalam permainan video game. Kesal karena kalah, senang karena menang. Rasanya hanya itu yang aku rasakan di hari Sabtu. Di hari Minggu juga tidak ada hal-hal yang membuatku kembali memikirkan tentang kejadian di hari Jumat. Pada malam hari setelah selesai berdoa sebelum tidur, aku kembali teringat apa yang sudah aku lakukan di hari Jumat. Betapa nakalnya aku sudah mengambil buku catatan milik teman sebangku yang sudah kira-kira satu bulan duduk bersama. Malaikat mungkin sudah merasuki, hati kecilku berkata kalau aku harus meminta maaf kepada teman senbangku itu. Besok pagi sebelum kelas dimulai aku harus meminta maaf dan mengakui segala perbuatanku. Setelah mengucapkan janji itu, aku tidur.

Secerah cuaca di hari ini, Senin. Tekadku untuk meminta maaf juga ikut bersinar. Perjalanan menuju sekolah rasanya sangat lambat, rasanya aku sudah tidak sabar ingin menyodorkan tangan kananku serta mengucapkan kata maaf disertai dengan ekspresi penyesalan kepada teman sebangk. Tiba di depan pintu kelas, jantungku mengetuk-mengetuk dada dengan keras. Perlahan kudorong pintu kelas yang sepertinya terasa berat di hari ini. Ketika pintu terbuka lebar, mataku langsung tertuju ke bangku ketiga dari pintu masuk yang ada di paling depan, dekat papan tulis. Ya, Itulah tempatku dan teman sebangku. Bangku itu kosong, tidak ada siapa-siapa. Lima menit lagi kelas akan dimulai, tidak mungkin dia belum datang sampai sekarang. Dia hampir selalu datang ke kelas yang pertama kali.

Aku berjalan dengan merunduk menuju tempatku, di benakku banyak pertanyaan, "apa dia sakit karena kehujanan sewaktu mengambil buku?" "apa dia pindah sekolah karena tidak mau berteman dengan teman sebangku yang nakal?" Sebelum pertanyaan dalam lamunanku itu bertambah banyak, suara tawa yang khas menghantarku kepada kesadaran. Mengikuti sumber suara, aku memalingkan wajah ke belakang. Terlihat teman sebangku ada di bangku paling belakang, tepat sederetan dengan posisiku saat ini. Aku baru ingat kalau hari ini adalah saatnya pergantian posisi tempat duduk. Semua orang di dalam kelas selalu berganti tempat duduk sebulan sekali, hanya aku yang selalu duduk di bangku ketiga dari pintu masuk dan paling depan. Kini teman sebangku itu telah berubah status menjadi mantan teman sebangku. Perubahan status itu seketika merubah juga niatku yang tadi bersinar menjadi meredup dan akhirnya mati, tidak lagi menyala. Aku memutuskan untuk mengurungkan niatku untuk meminta maaf. Aku tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk menghampirinya di bangku paling belakang. Dari tempatku duduk, aku memandangnya dan berkata, "maaf ya" tanpa suara.

091013

No comments: